tutorial fedora

Sabtu, 01 Oktober 2011

kasus pelanggaran ITE

KASUS PELANGGARN ITE DARI SISTEM TEKNOLOGI INFORMASI YG DIGUNAKAN (KPU)

Pada pemilu 2004, saat pemilu multi partai kedua dan pemilihan presiden langsung pertama kali di Indonesia ada sebuah perbincangan hangat, yakni system teknologi informasi yang digunkana oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sistem TI sudah pasti akan menjadi sasaran kritik pihak-pihak lain. Situs KPU yang digunakna untuk menampilkan data perhitungan suara itu tidak hanya dikritisi, melainkan juga di jahili.
Pada awalnya KPU sangat sombong dengan system mereka, Mereka menganggap system ini sangat aman. Hal ini mengundang ketertarikan para hacker dan cracker untuk menguji system tersebut
Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 17 April 2004 dengan target situs http://tnp.kpu.go.id, pelaku yang bernama Dani Firmansyah merasakan adrenalinnya terangsang begitu cepat ketika mendengar pernyataan Ketua Kelompok Kerja Teknologi Informasi KPU Chusnul Mar’iyah bahwa sistem keamanan Situs KPU 99.99% aman dari serangan hacker. Maka pelaku pun memulai serangannya ke situs KPU tersebut selama kurang lebih 5 hari hingga ia pun berhasil men-deface tampilan situs KPU dengan mengganti nama-nama partai peserta pemilu. Alur tindak kejahatannya di mulai dari “warnet warna” yang berlokasi di Jogyakarta. Tersangka mencoba melakukan tes sistem security kpu.go.id melalui XSS (Cross Site Scripting) dan Sistem SQL injection dengan menggunakan IP Publik PT. Danareksa 202.158.10.***. Pada layer identifikasi nampk keluar message risk dengan level low (ini artinya web site KPU tidak dapat ditembus),
Pada 17 April 2004 jam 03.12.42 WIB, tersangka mencoba lagi untuk menyerang server KPU dan berhasil menembus IP (tnp.kpu.go,id) 203.130.***.*** serta berhasil update tabel nama partai pada pukul 11.24.16. sampai 11.34.27 WIB. Adapun teknik yang dipakai tersangka melalui teknik spoofing (penyesatan) yaitu tersangka melakukan hacking dari IP 202.158.10.*** kemudian membuka IP proxy Anonimous (tanpa nama) Thailand 208.***.1. lalu masuk ke IP (tnp.kpu.go.id) 203.130.***.*** dan berhasil merubah tampilan nama partai.
Setelah kejadian tersebut tim penyelididik Satuan Cyber Crime Krimsus Polda Metro Jaya yang di ketua oleh AKBP Pol Petrus R Golose mulai melakukan pengecekan atas log file server KPU. Tim penyelidik melakukan penyelidikan dengan cara membalik. “Bukan dari 208.***.1 (server di Thailand) untuk mengetahui apakah pelaku mengakses IP 208.***.1. atau tidak.
Tidak sengaja tim perburuan bertemu dengan seseorang yang kenal dengan Dani di internet ketika sedang chatting. Kemudian tim penyidik menemukan salah satu IP address di log KPU, ada yang berasal dari PT. Danareksa. Lalu belakangan diketahui bahwa seseorang yang diajak chatting dengan polisi untuk mencari informasi tentang Dani tersebut adalah Fuad Nahdi yang memiliki asal daerah yang sama dengan Dani, dan merupakan admin di Warna Warnet. “Jadi nickname-nya mengarah ke Dani dan IP addres-nya mengarah ke tempat kerjanya Dani. Dari hasil investigasi, keluar surat perintah penangkapan atas Dani Firmansyah yang berhasil dibekuk di kantornya di Jakarta.
Ketiadaan undang-undang cyber di Indonesia membuat Dani Firmansyah situs Tabulasi Nasional Pemilu milik KPU dijerat dengan pasal-pasal UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi. Ada tiga pasal yang menjerat adalah sebagai berikut :
1. Dani Firmansyah, hacker situs KPU dinilai terbukti melakukan tindak pidana yang melanggar pasal 22 huruf a, b, c, Pasal 38 dan Pasal 50 UU No 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
2. Pada pasal 22 UU Telekomunikasi berbunyi :
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak,tidak sah atau memanipulasi :
a. akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
b. akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
c. akses ke jaringan telekomunikasi khusus.
3. Selain itu Dani Firmansyah juga dituduh melanggar pasal 38 Bagian ke-11 UU Telekomunikasi yang berbunyi “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggara telekomunikasi.” Internet sendiri dipandang sebagai sebuah jasa telekomunikasi.
Internet dipandang sebagai sebuah jasa telekomunikasi dan diatur di dalam Keputusan Menteri Perhubungan No 21 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi. Pada pasal 3 berbunyi bahwa Penyelenggaraan jasa telekomunikasi terdiri atas :
a. Penyelenggaraan jasa teleponi dasar;
b. Penyelenggaraan jasa nilai tambah teleponi;
c. Penyelenggaraan jasa multimedia.
Pada pasal 46 lebih lanjut dijelaskan bahwa sebagaimana dimaksud dengan pasal 3 huruf c, penyelenggaraan jasa multimedia termasuk antara lain :
a. jasa televisi berbayar
b. jasa akses internet (internet service provider);
c. jasa interkoneksi internet (NAP);
d. jasa internet teleponi untuk keperluan publik;
e. jasa wireless access protocol (WAP);
f. jasa portal
g. jasa small office home office (SOHO);
h. jasa transaksi on-line;
i. jasa aplikasi packet-switched selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, e, f, g dan huruf h.
Ancaman hukuman bagi tindakan yang dilakukan Dani Firmansyah adalah sesuai dengan bunyi pasal 50 UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi berbunyi “Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi pada Pasal 38 menyebutkan “Setap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi”. Undang-undang tersebut sebetulnya tidak relevan dipakai untuk menjerat hacker, sebab gangguan yang dimaksud adalah gangguan yang bersifat infrasturuktur dan proses transmisi data, bukan mengenai isi (content) informasi.
Alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP Pasal 184 (1) adalah sebagai berikut :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa.

PELANGGARAN HAKI

PELANGGARAN HAKI PADA BIDANG PERFILMAN


Pembajakan pada bidang perfilman sudah berjalan sejak tahun 80-an
dimana pembajakan bisa dilakukan di rumah dengan melakukan penggandaan
dari betamax ke betamax. Hal itu memang mudah sekali. Kemudian
berkembang kepada laser disk sampai VCD pada laser Disk yang terjadi
bukanlah pelanggaran hak cipta, tetapi yang terjadi adalah pararel import :
khusus masalah pararel import, telah diatur suatu undang-undang dibidang
perfilman yaitu undang-undang No. 8 tahun 1982 yang mengatur tata cara
usaha perfilman dan tata cara suatu film dapat masuk Indonesia
Pembajakan CD/VCD dilakukan dengan membajak dari film-film
yang belum beredar dan belum ditayangkan di Indonesia kemudian
pelakuknya sudah mengedarkan di Indonesia. Kalau dilihat dan diamati dari
tahun 80-an sampai sekarang bisa ditarik suatu garis besarnya pertama adalah
masalah law enforcement. Penegakan dan Penanganan Hak Cipta tidak pernah
serius dan tuntas. UU No 19 tahun 2002 yang pidananya lebih tinggi tersebut
ternyata malahan menurunkan harga VCD bajakan, jadi UU tersebut justru
menurunkan harga VCD bajakan, bukan VCD originalnya. Sebelum UU
tersebut di undang kan harga VCD bajakan sekitar 20-25 ribu rupiah, tetapi
begitu diundangkan VCD malahan lebih murah, sehingga pedagang isa lebih
untung.
5
Fenomena film ayat-ayat cinta yang menjadi buah bibir masyarakat
dalam satu bulan terakhir yakni kesuksesan Film Ayat-Ayat Cinta (AAC) Film
itu mengalahkan kelarisan novelnya yang ditulis oleh Habiburahman
Elshirazy. Apabila buku novelnya terjual 400 ribu eksemplar maka ketika
difilmkan mampu memecahkan rekor penonton dengan menembus angka 3
juta. Berarti AAC menjadi film terlaris dalam sejarah perfilman di Indonesia.
Sebelumnya ada film Eifel I’m In Love yang ditonton 2,9 juga orang dan ada
Apa Dengan Cinta dengan jumlah penonton mencapai 2,7 juta orang hingga
film yang di sutradarai Hanung Bramantiyo itu masih dipadati pengunjung.
Pada saat ini juga VCD bajakan Ayat-Ayat Cinta sudah banyak
beredar. Masyarakat bisa mendapat VCD itu di pedagang kaki lia dan di mallmall. Masyarakat bisa mendapatkan VCD bajakan dengan harga lebih
terjangkau.

Penegakan Hukum atas Hak Cipta biasanya dilakukan oleh pemegang
Hak Cipta dalam Hukum Perdata, namun ada pula sisi hukum pidana yang
sanksi pidananya secara dikenakan kepada aktivitas pemalsuan yang serius
namun kini semakin lazim pada perkara-perkara lain. Sanksi pidana atas
pelanggaran Hak Cipta di Indonesia secara umum diancam dengan hukuman
penjara paling singkat satu bulan dan paling lama tujuh tahun yang dapat
disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling sedikit satu juta rupiah
dan paling banyak lima milyar rupiah, sementara ciptaan atau barang yang
merupakan hasil tindak pidanan hak cipta serta alat-alat yang digunakan untuk
melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan
(UU 19/ 2002 bab XIII)
Dengan keluarnya Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002
(UU No. 10 tahun 2002) diharapkan pembajakan dapat diberantas. Namun
setelah sekian bulan Back To Natur lagi. Sebenarnya dengan adanya UU
tersebut diharapkan pembajakan bisa ditanggulangi dan masyarakat bisa mulai
mengerti. Pada saat itu telah dilakukan sosialisasi dengan mengadakan suatu
acara mengenai publikasi UU No. 19 tahun 2002. dari situ ternyata diketahui
banyak masyarakat yang sudah mengerti Undang-Undnag Hak Cipta. Kendati
demikian pembajakan tetap saja berjalan. Kalau dilihat dan diamati dari tahun
80-an sampai sekarang bisa ditarik suatu garis besarnya. Pertama adalah
masalah law enforcement, penegakan dan penanganan pelanggaran terhadap
UU No. 8 tahun 1982 yaitu bahwa film tidak disensor saja tidak bisa
ditangani. Itu membuktikan adanya komponen dalam penegakan Hukum yang
tidak berlajan dari kurun tahun 80-an sampai sekarang. Jadi sudah sekitar 20
tahunan masalah ini masih menjadi permasalahan saja sama seperti “Never
Ending Story”. Dalam hal ini diragukan juga keseriusan pihak aparat dalam
menangani pembajakan Hak Cipta.
9
Dengan adanya korelasi antara pelanggaran hak cipta dengan ancaman
pidana diharapkan mampu untuk mendorong upaya penanggulangan tindak
pidanan dibidang HAKI khususnya Hak Cipta yang sedang marak-maraknya
terjadi di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut di dalam UU Hak Cipta
menegaskan :
“Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil
pelanggaran hak cipta atau Hak terkait, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).